Diperingatinya Hari Pemberontakan Pembela Tanah Air berawal dari pemberontakan terhadap Kekaisaran Jepang. Saat itu, Kekaisaran Jepang menerapkan kebijakan yang brutal seperti romusha alias kerja paksa hingga merampas hasil pertanian.
Mengutip laman Pemkot Malang, sebelum diperingati sebagai Hari Pemberontakan Pembela Tanah Air, kala itu PETA dibentuk oleh pemerintahan Jepang dan melibatkan sukarelawan setempat. PETA berperan untuk menjaga kemerdekaan bangsa Indonesia meski awalnya bertugas untuk membantu Jepang dalam perang Asia Timur.
Dibentuknya Hari Pemberontakan Pembela Tanah Air (PETA) diinisasi oleh Letjen Kumakici Harada. Terbentuknya PETA karena timbulnya ketidakpercayaan bangsa Indonesia pada pemerintah Jepang terhadap kemerdekaan yang dijanjikan.
Sementara itu, melansir laman Universitas Jember (UNEJ), pembentukan Hari Pemberontakan Pembela Tanah Air dilakukan oleh Letjen Kumakici Harada melalui Osamu Seiri nomor 44 yang mengatur tentang pembentukan PETA. Kala itu, Jepang bercermin pada Prancis yang dapat menguasai Maroko dengan memanfaatkan pemuda Maroko sebagai tentara Prancis.
Dibentuknya Hari Pemberontakan Pembela Tanah Air merupakan salah satu tonggak perlawanan bangsa Indonesia kepada penjajahan Jepang. Meski lembaga ini besutan Jepang, namun PETA menyulut jiwa patriorisme dan nasionalisme, sebab mereka peduli terhadap kaum pribumi yang menjadi korban kerja paksa Jepang.
Akibatnya, terjadilah perlawanan PETA yang salah satunya terjadi di Daidan (Batalyon). Kala itu Shodanco Supriyadi memimpin perlawanan tersebut.
Di tanggal 14 Februari 1945, dia mengibarkan bendera Merah Putih di sebuah lapangan besar. Hal itu dia lakukan sebagai bentuk perlawanan bangsa Indonesia terhadap Jepang untuk mencapai kemerdekaan.
Selanjutnya, pada 29 Februari 1945 dini hari, Supriyadi dan pasukannya mulai bergerak untuk melawan tentara Jepang. Pihak Jepang yang mengetahui hal tersebut langsung menyiapkan pasukannya dan melengkapinya dengan tank dan pesawat udara guna menghalau tentara PETA.
Rupanya, kekuatan tentara Jepang berhasil menguasai seluruh kota Blitar. Mereka pun menyerukan agar pasukan PETA kembali ke kesatuannya masing-masing.
Jepang menangkap pasukan Hari Pemberontakan Pembela Tanah Air. Beberapa dari mereka pun dibunuh dan dijatuhi hukuman mati. Jepang pun memerintahkan pasukan Hari Pemberontakan Pembela Tanah Air (PETA) agar mundur. Bahkan, mereka pun ditangkap, ditahan dan disiksa oleh polisi Jepang.
Akibatnya, pasukan PETA jumlahnya berkurang setengah. Saat itu, pasukan yang tersisa dipimpin oleh Supriyadi dan Muradi. Mereka pun melawan polisi Jepang dengan membuat pertahanan di lereng Gunung Kawi juga Distrik Pare. Namun dengan kelicikannya, Jepang berhasil meredam pemberontakan PETA. Jepang menjebak pasukan yang dipimpin oleh Muradi.
Kolonel katagiri pun berpura-pura menyerah kepada pasukan Muradi. Tanpa menaruh rasa curiga,, kolonel katagiri bertukar pikiran dengan anggota PETA. Siapa sangka, siasat ini justru berhasil, sehingga pada pukul 20.00 WIB, pasukan yang dipimpin Muradi kembali ke batalion.
Keadaan yang gelap di malam hari menyebabkan pasukan PETA tidak sadar bahwa mereka tengah dikepung oleh pasukan Jepang. Akibatnya, mereka langsung dilucuti dan ditangkap. Mereka diadili di depan Mahkamah Militer Jepang. Adapun hukuman yang diberikan seperti hukuman seumur hidup juga hukuman mati.
Muradi, dr. Ismaik, Suparyono, Halir Mankudijoyo, Sunanto juga Sudarmo dijatuhi hukuman mati. Sementara Supriyadi tidak disebutkan dalam persidangan, sehingga tidak ada yang tahu apakah dia tewas atau di hukum mati secara rahasia.
Sumber: news.detik.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar